Asuransi
sebagai suatu sistem proteksi atas risiko yang dihadapi masyarakat dari
kerugian yang bersifat finansial, membutuhkan profesionalisme dari perusahaan
asuransi yang mengelolanya. Yaitu dengan menjaga kondisi keuangannya sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan kepercayaan yang tinggi kepada masyarakat.
Peranan
asuransi dalam pembangunan nasional tidak hanya dilihat dari jumlah dana yang
dapat di”himpun” dari masyarakat, tetapi juga dari banyaknya pembayaran klaim
yang dilakukan oleh perusahaan asuransi.
Pengukuran:
1. Peningkatan
penggunaan nilai wajar (fair value)
Standar IFRS banyak menggunakan nilai
wajar, terutama untuk properti investasi, beberapa aset tak berwujud, aset
keuangan, dan aset biologis. Diperlukan sumber daya yang kompeten untuk
menentukan nilai wajar atau bahkan perlu menyewa jasa konsultan penilai
terutama untuk aset-aset yang tidak memiliki nilai pasar aktif
2. Penggunaan estimasi
dan “judgement“
Akibat karakteristik IFRS yang lebih berbasis
prinsip, akan lebih banyak dibutuhkan “judgement”
untuk menentukan bagaimana suatu transaksi keuangan dicatat.
Pengungkapan:
1. Persyaratan
pengungkapan yang lebih banyak dan lebih rinci
IFRS mensyaratkan pengungkapan berbagai
informasi tentang risiko baik kualitatif maupun kuantitatif. Pengungkapan dalam
laporan keuangan harus sejalan dengan data/informasi yang dipakai untuk
pengambilan keputusan yang digunakan oleh manajemen.
Industri
Asuransi Indonesia dalam tahun 1983 sampai dengan 1985 mengalami kesulitan
seperti berikut :
1.
Menderita kerugian yang cukup besar karena hasil underwriting
tidak memadai bahkan minus.
2.
Stabilitas keuangan perusahaan asuransi tidak terjamin.
3.
Didalam pasar reasuransi internasional tidak mempunyai
reputasi yang cukup baik.
Untuk
meningkatkan reputasi industri asuransi Indonesia, diperlukan :
1.
Peningkatan mutu produk dan pasar.
2.
Adanya accounting standard yang berlaku di dalam industri
asuransi.
Perusahaan
asuransi di Indonesia relatif mengalami kelambatan dalam perkembangan permodalan.
Hal ini disebabkan oleh keadaan yang belum memadai untuk memungkinkan
pengembangan permodalan tersebut.
Dengan
adanya suatu Accounting Standard maka perhitungan hasil usaha menjadi lebih
jelas, adanya suatu accounting standard akan memberikan value added bagi
industri asuransi dan masyarakat yang akan memberikan dampak positif terhadap
pembangunan nasional.
Contoh
Kasus :
Berdasarkan data Asosiasi
Asuransi Jiwa Indonesia, kontribusi pendapatan premi industri asuransi jiwa
pada 2010 telah didominasi produk unitlinked yang mencapai Rp 44,73 triliun
atau 58,87% dari total pendapatan premi sebesar Rp 75,98 triliun. Pada 2010,
pendapatan premi yang dibukukan perusahaan asuransi jiwa dari produk
konvensional hanya Rp 31,25 triliun atau 41,13% dari total kontribusi premi.
Kontribusi ini berubah dibandingkan tahun sebelumnya, di mana unitlinked hanya
memberikan kontribusi 35,69% atau sebesar Rp 21,5 triliun dari total pendapatan
premi Rp 60,24 triliun. Pendapatan premi dari produk asuransi konvensional pada
2009 tercatat 64,29% atau Rp 38,73 triliun. Pendapatan premi dari produk
asuransi unitlinked pada 2010 jugatumbuh 108%. Pada tahun 2009, pendapatan
premi dari produk asuransi unitlinked meningkat 55,22% dari 2008 yang hanya Rp
13,85 triliun. Sementara itu, pendapatan premi dari produk konvensional pada
2010 turun 19,3%. Hary Prasetyo, Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya
(Persero), perusahaan asuransi jiwa skala besar milik pemerintah, mengatakan
aturan PSAK yang akan diterapkan tahun depan akan menahan minat perusahaan
memperbesar produk unitlinked. Perusahaan berencana mengeluarkan produk
unitlinked baru tahun depan, tetapi target yang ditetapkan tidak akan terlalu
besar. Jiwasraya akan lebih fokus kepada produk lain yang nilai preminya
dicatatkan utuh dalam pembukuan.Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) berencana mengeluarkan pernyataan standar akuntansi keuangan
(PSAK) hasil konvergensi standar akuntansi internasional pada tahun 2012.
Menurut pejabat Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, aturan ini diprediksi akan
mengurangi pendapatan premi industri asuransi jiwa tahun depan. Benny
Waworuntu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa, mengatakan pada 2012
Bapepam-LK akan menerapkan pencatatan PSAK yang memisahkan transaksi premi murni
dan premi investasi atau kontrak asuransi dan kontrak investasi.
"Nantinya, kontrak investasi atau premi investasi tidak lagi dicatatkan
sebagai pendapatan premi dalam laporan keuangan berdasarkan ketentuan yang
baru," kata Benny. Penurunan pendapatan premi ini hanya akan berpengaruh
terhadap laporan keuangan, namun nilai pendapatan premi yang diterima
perusahaan belum tentu terpengaruh. Selama ini, pencatatn sesuai PSAK 28 dan
PSAK 36 belum membedakan perolehan premi yang masuk menurut pemaparan industri
asuransi. Penurunan pendapatan premi ini akan terjadi pada
perusahaan-perusahaan yang banyak mengandalkan penjualan produk unitlinked.
Dalam ketentuan PSAK yang baru tersebut, pemisahan pencatatan pendapatan premi
dari kontrak asuransi dan kontrak investasi akan dilakukan perusahaan asuransi
sendiri. Benny menilai lebih baik Bapepam-LK yang melakukan pemisahan ini agar
terjadi pencatatan yang lebih objektif. "Saat ini, kami masih duduk
bersama dengan Dewan Standarisasi Akuntansi untuk membahas hal ini," kata
dia. Isa Rachmatawarta, Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK, mengatakan banyak
peraturan yang akan dikeluarkan Bapepam-LK akhir tahun ini atau awal tahun
depan, termasuk ketentuan PSAK yang baru bagi perusahaan asuransi.
"Perusahaan asuransi harus siap-siap terhadap ketentuan aturan baru,"
kata Isa. Sebelumnya, Isa mengatakan pendapatan premi industri asuransi ke
depan bisa teridentifikasi, antara perolehan premi proteksi dengan premi
investasi. Saat ini, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) masih membahas rancangan
PSAK yang mengadopsi International Financial Reporting Standard (IFRS) 4.
Regulator berkoordinasi dengan organisasi tersebut untuk melakukan konvergensi
IFRS 4. Standar Khusus Akuntansi untuk Asuransi Kerugian merupakan standar
akuntansi kedua yang khusus mengatur jenis badan usaha tertentu setelah
dikeluarkannya. Standar Khusus Akuntansi untuk Koperasi. Standar Khusus ini
disusun atas dasar kerja sama antara Ikatan Akuntan Indonesia dan PT. Asuransi
Jasa Indonesia. Asuransi sebagai suatu sistem proteksi atas risiko yang
dihadapi masyarakat dari kerugian yang bersifat finansial, membutuhkan
profesionalisme dari perusahaan asuransi yang mengelolanya. Yaitu dengan
menjaga kondisi keuangannya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
kepercayaan yang tinggi kepada masyarakat. Industri asuransi nasional harus
siap-siap beradaptasi dengan pencatatan laporan keuangan baru. Karena Biro
Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) akan
menerbitkan standar akuntansi keuangan alias PSAK hasil konvergensi standar
akuntasi internasional. PSAK yang mencatat laporan keuangan perusahaan asuransi
tersebut nantinya akan membedakan transaksi premi murni (proteksi) dengan premi
investasi. "Jadi, pencatatan laporan keuangan tidak lagi berdasarkan
entitas, melainkan membedakan transaksi premi proteksi dan investasi. Dengan
demikian, premi industri asuransi ke depan bisa teridentifikasi, antara
perolehan premi proteksi dengan premi investasi. Karena PSAK yang mengatur
keuangan perusahaan asuransi, yakni PSAK 28 dan PSAK 36 belum membedakan
perolehan premi yang masuk dalam pemaparan akuntansi industri. Saat ini, Ikatan
Akuntansi Indonesia (IAI) masih menggodok rancangan PSAK yang mengadopsi
International Financial Reporting Standard (IFRS) 4. Regulator berkoordinasi
dengan organisasi tersebut melakukan konvergensi IFRS 4. "PSAK baru ini
merupakan terjemahan dari IFRS 4, kemungkinan terbit 2012 mendatang,"
imbuh Isa. Member of Working Committee Financial Reporting yang khusus dibentuk
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Iwan Pasila mengungkapkan, IFRS 4 yang
bakal dirancang dalam PSAK 62 ini untuk membedakan pencatatan kontrak asuransi
dan bukan kontrak asuransi. Saat ini, pihaknya mengklaim, sepakat dan akan
terus memberikan masukan kepada IAI. Iwan menjelaskan, sebetulnya aturan
pencatatan keuangan perusahaan asuransi ini cukup baik mengikuti perkembangan
standar internasional. "Tidak bisa dipungkiri, belum seluruh pelaku
industri siap. Apalagi, karena ketentuan pencadangan. Ketentuan dengan metode
berteknologi canggih ini belum bisa diimplementasikan menyeluruh,"
pungkasnya. Selain itu, banyak pekerjaan rumah yang harus diberlakukan industri
asuransi nasional. Misalnya, bagaimana perusahaan asuransi beralih
menyeragamkan pencatatan akuntansi yang biasa dilakukannya dengan mengikuti
standar internasional. Seperti, sistem pencatatan, basis teknologi yang
memadai, termasuk sumber daya manusia. Ketika dikonfirmasi, Ketua AAJI
Hendrisman Rahim mengaku belum mengetahui rancangan PSAK yang mengatur
pemisahan transaksi premi proteksi dan investasi tersebut. Namun, Hendrisman
mengungkapkan, pihaknya mendukung pencatatan akuntansi perusahaan asuransi agar
sesuai standar internasional. Vice President Asuransi Aviva Indonesia, Albert
Wanandi mengungkapkan hal senada. Ia mengatakan, belum mengetahui rencana
regulator mengadopsi IFRS 4. "Namun, secara prinsip, kami mendukung
pemisahan transaksi premi proteksi dengan investasi. Pencatatan akuntansi
perusahaan asuransi ini mencoba mengikuti.
Sumber
: