Senin, 12 Maret 2012

Kendala-kendala yang ada pada IFRS


IFRS ( International Financial Reporting standard ) adalah pedoman penyususnan laporan keuangan yang dapat diterima secara global. IFRS yang ada saat ini mengalami sejarah yang cukup panjang dalam proses terbentuknya. Mulai dari terbentuknya IASC / IAFB, IASB, hingga menjadi IFRS seperti yang ada saat ini. Jika IFRS telah digunakan oleh suatu Negara, berarti Negara tersebut telah mengadopsi system pelaporan keuangan yang dapat diterima dan diakui secara global di seluruh dunia sehingga memungkinkan pasar dunia mengerti tentang laporan keuangan perusahaan dimana Negara tersebut berasal.
Manfaat Konvergensi IFRS Secara Umum
Manfaat dari konvergensi IFRS secara umum diantaranya adalah :
Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional (enhance comparability).
Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi.
Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global.
Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan antara lain, mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management.
Kendala Adopsi Penuh IFRS di Indonesia
Ada 3 kendala dalam mengadopsi penuh IFRS :
1.         Kurang siapnya infrastuktur seperti DSAK sebagai Financial Accounting Standart Setter.
DSAK adalah perumus SAK yang ada di Indonesia. Pada prakteknya DSAK mendapatkan berbagai macam kritik. Diantaranya adalah minimnya partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam setiap exposure draft hearing PSAK yang baru akan diberlakukan. Padahal untuk dapat di “cap” kualitas generally accepted accounting principle / GAAP adalah harus melewati tahapan-tahapan yang diantaranya melibatkan seluruh stakeholeder yang terlibat.
Selain itu status ketua dan anggota DSAK yang tidak bekerja full time membuat DSAK dipandang kurang begitu loyal dan independen. Dan yang memprihatinkan adalah belum ada satu peraturan pun yang memberikan mandate bagi DSAK untuk mengeluarkan SAK.

2.         Kondisi perundangan - undangan yang belum tentu sinkron dengan IFRS.
Regulasi yang berkaitan dengan standar akuntansi dan pelaporan keuangan di Indonesia tidak begitu jelas. Terdapat banyak perundang-undangan yang kurang mendukung terhadap standar akuntansi dan pelaporan keuangan.
Di dalam IAS 16, standar internasional memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai revaluation model (ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan revalution model (fair value accounting) dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and Equipment) mulai tahun 2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun 2008). Hal ini adalah perubahan yang cukup besar karena selama ini revalution model belum dapat diterapkan di Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah mengijinkan.
Revaluation model memperbolehkan PPE dicatat berdasarkan nilai wajarnya. Permasalahannya di Indonesia adalah sistem perpajakan yang tidak mendukung standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset ke atas dikenai pajak final sebesar 10% dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan yang bisa dibalik di tahun berikutnya bila nilai aktiva turun. Bayangkan apabila perusahaan memutuskan memakai revalution model dan setiap tahun harga asetnya meningkat, maka setiap tahun harus membayar pajak final.
Padahal kenaikan harga aset tersebut tidaklah membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan. Bila aturan perpajakan tidak mendukung, maka dapat dipastikan perusahaan akan enggan menerapkan revaluation model. Bukan hanya sistem pajaknya saja yang memberatkan, bila perusahaan memakairevaluation model, maka siap-siap untuk keluar uang lebih banyak untuk menyewa jasa penilai. Hal ini dikarenakan banyaknya aset tetap yang btidak memiliki nilai pasar sehingga ketergantungan kepada jasa penilai (assessor) akan besar untuk menilai aset-aset ini.
3.       Kurang siapnya SDM dan dunia pendidikan di Indonesia
IFRS hanyalah alat untuk mencapai kemudahan dalam berinvestasi. Yang akan menggunakan dan mengoptimalkan alat tersebut tidak lain tidak bukan hanyalah manusia itu sendiri meskipun akan sedikit di bantu dengan teknologi informasi. SDM di Indonesia haruslah dapat memahami dengan baik apa itu IFRS. Tentunya SDM-SDM yang berhubungan langsung dengan laporan keuangan baik praktisi, pemerintah, hingga akademisi.
Salah satu kelemahan SDM Indonesia adalah kesulitan dalam menerjemahkan IFRS. Jadi dalam menerjemahkan dan memahami IFRS membutuhkan waktu yang tidak singkat. Padahal perubahan-perubahan di IFRS adalah sangat cepat, sehingga saat IFRS yang sudah selesai diterjemahkan terkadang IFRS yang tidak lagi berlaku. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Negara lain yang langsung mengambil teks asli IFRS tanpa menerjemahkannya terlebih dahulu.

sumber : http://akuntansiuny.blogspot.com/2011/04/ifrs.html